Pengalaman adalah guru kehidupan
yang paling berharga. Guru yang mengajarkan segala hikmah yang tersingkap
dibalik tabir kisah nyata yang kita jalani sehari hari. Ntah itu cerita tentang
kebaikan, atau mungkin cerita keburukan. Bisa terdapat dikisah suka, maupun dikisah
duka. Semuanya selalu mengandung berbagai pelajaran yang tersirat ataupun yang
terlihat langsung. Membekas kuat di ingatan karena memang ini dialami diri kita
sendiri. Mengikat kuat di pikiran karena memang kita sendirilah yang terjun
langsung melewatinya. Dan setiap kita tentunya telah melalui banyak kisah yang
telah menjadi pengalaman hidup. Setiap kitapun berbeda beda cara dalam
melewatinya. Tentunya kisah yang berbeda beda ini melahirkan
pengalaman yang berbeda pula.
Jika membicarakan pengalaman, aku
baru saja mendapatkanya. Ini bukan cuman pengalaman biasa, tapi pengalaman
super yang membuatku benar benar merasa masih belum maksimal dalam mengabdikan
diri. Masih belum berbuat apa apa untuk kemashlahatan manusia dan umat.
Menyadarkan diri akan kelalaian yang masih sering menghinggapi hingga waktupun
masih belum teroptimalkan. Sadar masih sering bergelut dengan hal yang tak ada
kemanfaatan dibandingkan berbuat hal yang berguna. Pengalaman ini benar benar
memukul telak apa yang sudah dilakukan slama ini. Sangat sangat telak.
26
Desember 2013, tanggalnya teringat jelas dipikiranku . Pengalaman
super yang bener bener mengajarkan banyak hal padaku. Diri berasa kebas
lantaran tertampar kuat oleh peristiwa yang kulihat hari ini. Hati dan tubuh bergetar
seirama seiring dengan pengalaman yang kualami. Hari itu, waktu telah
menunjukkan saat ashar. Lantunan adzan telah menggema memanggil para penduduk
bumi yang sedang beraktivitas menjalani hari. Alunan muadzin yang merdupun
telah menyeruak masuk ke telinga setiap muslim untuk mengajak mereja berhimpun
bersama melaksanakan kewajiban di masjid, Shalat Ashar. Saat itu, aku dan
temanku sudah tiba dimasjid untuk menunaikan ashar. Namun, bukan ini letak
pengalaman berharga hari itu. Guru yang berharga itu datang saat seorang laki
laki berkulit sawo matang masuk langkahkan kakinya kemasjid. Tampak setiap
langkah kakinya penuh dengan kehati-hatian. Raut mukanya teduh. Sangat sangat
teduh. Ia berjalan menuju shaf sambil gerakkan tangannya meraba raba pojokan dinding.
Langkahnya terhenti saat ia merasa ia telah sampai di barisan shaf yang benar.
Ia pun berdiri tegak menunggu qamat dikumandangkan. Saat qamat dilantunkan, ia
pun masih tetap diam. Menunggu seseorang untuk menuntunnya keposisi shaf yang
benar, agar ia mampu masuk dalam barisan jamaah yang lurus dan teratur. Ia
berada tepat dibelakangku, kekosongan shaf disebelah kananku menggerakkanku
untuk menuntunnya mengisi shaf yang masih belum rapat. Iapun akhirnya sholat
tepat disebelahku ,sampai ucapan salam dibacakan imam ,tanda shalat telah usai.
Saat itupun, mataku masih tetap menujunya. Bibirnya terus bergerak tanda ia
sedang menggumamkan kata kata dzikir. Tampak sekali kekhusukannya. Karena lagi
lagi, wajahnya tetap terlihat meneduhkan. Sangat sangat meneduhkan. (sekian)
Nah, saya rasa kalian sudah berhasil
menangkap penuh cerita singkat diatas. Tentang sosok laki laki itu. Dan kalian
semua mungkin sudah tau apa yang berhasil menggetarkan penulis dari semua
tingkah yg ia lakukan. Bukan terletak di keteduhan raut wajahnya, dan tidak
juga di kekhusukan dzikirnya. Letak hikmah yang didapatkan ada di matanya. Yap.
Ia tak mampu melihat. Bukan karena ianya rabun ataupun tak memakai kacamatanya.
Namun , ianya benar benar tak bisa melihat. Ia Tunanetra. Sosok tunanetra yang
telah berhasil menampar kelalaian yang selama ini sering kulakukan. Pertemuan
dengannya pun akhirnya memberikan banyak pelajaran dan mendorong saya untuk
menulis tulisan ini.
Nikmat yang Allah berikan kepada
kita semua begitu banyak. Tak terhitung jumlahnya. Bahkan jika kita mencoba
menghitungnya, maka sampai kapanpun kita takkan pernah mampu.
Firman Allah swt :
“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. an-Nahl, 16: 18).
Atas banyaknya pemberian nikmat
yang Allah berikan ini, terkadang membuat kita lupa diri untuk terus mengabdi.
Kelengkapan pemberian-Nya malah menjadikan kita lalai hingga menjadikan kita
pribadi yang lupa diri dan tak pandai berterimakasih. Pribadi yang tak tau diri
karena tak mengoptimalkan segala nikmat yang diberi untuk terus menebar dan
melaksanakan kebaikan dimuka bumi. Segala nikmat yang seharusnya bisa digunakan
untuk mendukung kerja kerja akhirat kita gunakan hanya untuk kesenangan dunia.
Segala nikmat yang seharusnya bisa membantu kita dalam menunaikan perintahnya
malah tak kita manfaatkan sebaik mungkin. Merugi sekali !
Menghubungkan dengan sosok laki
laki yang diceritakan diatas, ada 1 hal yang sekali lagi penulis katakan mampu
menampar diri dan mungkin bisa menampar kalian yang membaca tulisan ini.
Penulis menyebut ini dengan Pengabdian
tanpa mata.
Ketiadaan
nikmat melihat tak menjadikannya melupakan segala kewajiban yang harus ia
kerjakan. Ketiadaan nikmat melihat tak menjadikannya sosok yang banyak
berasalan untuk meninggalkan kewajiban . ia tak menyerah dengan keadaan mesti
hrus bersusah payah menuju masjid karena keterbatasan yang ia miliki. Ia
memanfaatkan nikmat lain berupa kaki dan tangan untuk tetap mengerjakan sholat.
Sekali lagi, Ia memanfaatkan nikmat lain untuk menutupi kekurangan yang ia
miliki. Matanya memang hanya berteman kegelapan, namun kecintaannya pada Allah
mampu menutupi keterbatasan yang ia punya. Pandangan Matanya memang tak
berfungsi, tapi kecintaannya pada Allah menjadikannya sosok yang tak biasa.
Lihat diri kita dengan segala
kelengkapan nikmat yang Allah masih berikan hari ini. Mata , tangan, kaki,
telinga dan nikmat lainnya masih melekat ditubuh kita. Dan nikmat itu pun masih
berfungsi lengkap, menjadikan kita manusia yang tak kekurangan sedikit pun. Nikmatnya
masih sempurna. Bukankah Mata kita masih bisa melihat ? Bukankah Telinga kita masih mampu mendengar ? Bukankah Tangan
dan kaki masih bisa digerakkan ?! Namun, kelengkapan nikmat yang masih diberi ini sudahkah kita optimalkan ? sudahkah kita maksimalkan untuk
menjadi seorang hamba yang mengabdi pada Rabbnya ? Sudahkah ?!
Allah swt. Berfirman :
“Maka
nikmat tuhanmu, yang manakah yang kamu dustakan” (Q.S Ar- Rahman)
Bentuk pengabdian dan tanda syukur kita kepada-Nya tak cukup hanya dengan ungkapan saja. Alhamdulillah, kata ini yang sering kita lisankan sebagai bentuk syukur kita pada-Nya. Hanya sebatas kata namun seringkali tak ada realisasi nyata. Hanya berucap namun tak ada perilaku yang menunjukkan bukti kesyukuran. Perintahnya sering kita langgar, larangannya kita kerjakan, apa ini bentuk syukur dan terimakasih kita pada-Nya? Apa ini pantas kita lakukan kepada Rabb kita, yang telah memberikan segala nikmat terbaik kepada kita ? Pantaskah ?!
Maka dari itu, marilah kita
berkaca akan perilaku diri. Sudah kah kita melakukan sgala perintahnya dengan
baik? Sudahkah kita menjadi hamba yang benar benar mengabdi ? Jawab lah dalam hatimu, karena memang kitalah yang paling tau
mengenai diri kita sendiri. Yang jelas, segala
nikmat yang diberikan kita ini hanyalah titipan-Nya, semua nikmat ini adalah
kepunyaan-Nya, kapanpun Allah berhak mengambilnya kembali dari kita. Dan
sebelum waktu itu tiba, marilah kita maksimalkan segala pemberian yang Allah
berikan ini untuk mengabdikan diri kita. Karena inilah bentuk kesyukuran dan tanda terimakasih yang sebenarnya. Lisan ucapkan kata syukur, dan tubuh merealisasikan bentuk kesyukuran yang lisan keluarkan. Manfaatkanlah segala pemberiannya, lalu optimalkanlah untuk
menambah pundi pundi amal dan catatan catatan kebaikan ditangan kanan kita. Mumpung saat ini kita masih punya waktu untuk hidup.
Maksimalkanlah hidup yang hanya sekali,
sebelum mati mendatangimu ~
Allah SWT berfirman: : “Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”(Q.S. Ibrahim: 7).
0 komentar:
Posting Komentar