Minggu, 19 Januari 2014

Untukmu Para Pengemban Amanah



19 Januari 1014. Setiap orang punya cara pandang tersendiri mengenai amanah. Ada yang menganggap ianya sesuatu yang menakutkan, namun ada juga yang berburu untuk mendapatkan. Ada yang takut menerimanya lantaran takut tergolong pribadi yang munafik (jika tak menjalankan dengan baik), namun ada juga yang berlomba-lomba untuk meraih jabatan dan akhirnya mendapatkan amanah .

Amanah sering kali di artikan dalam pandangan sempit berupa tahta, kedudukan ataupun jabatan. Padahal jika kita coba telaah dan cermati bersama, amanah ini tak hanya berupa jabatan. Bumi tempat kita berpijakpun  adalah bagian dari amanah. Tubuh tempat ruh kita bersemayam juga amanah. Bahkan Anggota tubuh kita pun juga amanah yang mesti dijaga kesehatannya. 

Amanah secara bahasa diartikan dengan kata "jujur dan dapat dipercaya". Sedangkan secara syar'i, amanah dimaknai dengan menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan .Dari beberapa makna diatas, dapat diambil kesimpulan bahwasanya Amanah adalah sesuatu titipan yang mesti ditunaikan dengan baik. Orang yang berhasil menuntaskan amanah digelari dengan “Jujur” dan “Terpercaya”. Sedangkan yang lalai dan tak pernah berusaha menyelesaikannya diberikan cap kemunafikan didirinya.
Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)
Dalam tulisan kali ini bukan bermaksud untuk menjelaskan amanah secara lebih jelas dan lengkap. Hanya saja ingin sedikit mengubah pemikiran kita semua akan amanah yang mungkin seringkali kita hindari lantaran takut di cap munafik. Amanah yang mungkin seringkali diemban oleh para siswa serta mahasiswa yang aktif bergelut dalam dunia organisasi. #AmanahOrganisasi

Terkadang kita begitu takut mendapatkan amanah organisasi. Takut jika diri merasa terbebani dan tak mampu menjalankannya dengan baik. Takut bila tak bisa berbuat banyak hingga akhirnya tak mampu menjalankan amanah yang telah diterima. Padahal, secara jelas Allah swt berfirman :

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al Baqarah: 286)

“Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS Al An’am: 152)

“Kami tidak akan membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS Al A’raf: 42)

“Dan Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.” (QS Al Mu’minun: 62)

“Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.”( QS At Talaq: 62)

Nah, dari beberapa surah di atas, jelas kiranya bahwasanya segala sesuatu yang Allah berikan kepada kita ialah sesuatu yang sanggup untuk kita lalui. Bukanlah di Al-Qur’an telah berkali kali Allah firmankan bahwasanya ia takkan membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya ? Mengapa terkadang kita mengeluarkan penilaian bahwasanya kita tak mampu dan mengesampingkan Firman-Nya yang selalu mengatakan kita mampu ? Bukankah Allah Maha Mengetahui hal hal yang kita sanggupi dibandingkan diri kita sendiri ? Mengapa kita tak memulai semuanya dengan berhusnudzon pada-Nya ?

Jangan biarkan ketakutan akan ketidakmampuan menjalankan amanah menjadikan kita seseorang yang merasa paling tau tentang diri sendiri dibandingkan dengan-Nya. Karena sebenarnya, tanpa amanah inipun, kita tetap punya amanah lain yang jauh lebih besar lagi. Amanah yang telah ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung, namun mereka menolaknya. Allah swt. berfirman:

Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)

Maka dari itu, Untukmu para pengemban amanah. Jika amanah demi amanah ibarat batu yang memberatkan punggungmu. Bertahanlah untuk tetap memikulnya sampai berat beban hilang terasa. Berjalanlah terus meski punggungmu berbalut luka lantaran menahan beratnya beban yang harus kau terima. Jika berat menggoreskan luka, tetaplah berikhtiar dan teruslah berusaha. Bekerjalah, sampai tumpukan amanah dipunggungmu berhasil kau tuntaskan satu persatu dengan baik.

Untukmu para Pengemban amanah. Andai tubuhmu tak mampu lagi berdiri tegak lantaran amanah yang terikat. Bertahanlah dan kuatkan kerangkamu agar tetap mampu berdiri tegak mengangkat amanah. Jangan kau biarkan amanah merapuhkan tubuh dan retakkan kerangkamu. Jangan kau biarkan amanah tak terselesaikan dan jatuh sia sia . Teruslah memangkunya dengan kuat sampai benar benar ianya telah habis kau tunaikan. Sampai gelar “terpercaya” yang melekat kuat dalam kepribadianmu.

Untukmu para pengemban amanah. Berusahalah menuntaskan satu persatu amanah yang ditopang punggungmu. Berusaha dan terus berusahalah. Karena setiap amanah yang kita terima ibarat satu buah batu peradaban. Semakin banyak kita mengemban, maka semakin banyak kita memiliki batu peradaban. Inilah peluang kita. Peluang bahwa kita punya kesempatan untuk tak hanya menyusun satu batu peradaban saja selama bergelut di dunia, tapi kita punya 2, 3 atau 4 batu peradaban yang siap disusun dalam mengokohkan kejayaan islam di waktu yang akan datang. Menangislah. Jika memang ianya mampu tenangkan dan menutup goresan luka di jiwa. Menangislah jika air mata mampu obati luka menganga. Karena menangis di jalan dakwah bukanlah hal yang melemahkanmu, melainkan berikan suntikan tenaga untuk semangat menyelesaikan amanah yang digenggam dengan benar.

Untukmu para Pengemban Amanah. Jika memang ketakutanmu akan cap kemunafikan memenuhi batinmu. Segera ber-istigfarlah dan memohon ampunan pada-Nya. Hilangkan ketakutan itu dengan berpikir bersih serta berhusnudzon pada-Nya. Ingat. Dialah yang Maha mengetahui kemampuan setiap hambanya. Jika Amanah datang, berjuanglah untuk segera menyelesaikan. Bekerjalah. Karena Allah tak kan membiarkan hamba-Nya yang senantiasa berjuang dijalan ini.

Bekerjalah.
Allah swt dan Rasul kita, Muhammad menjadi saksi.
 "Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)



0 komentar:

Posting Komentar

 
;